Foto Tempo/Eko Siswono Toyudho
TEMPO Interaktif, Jakarta - Hari masih pagi di kompleks Makam Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad (1727-1756), Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4). Sekitar 200 santri berkumpul di halaman makam guna “menyambut” tamu mereka: 4000 Satuan Polisi Pamong Praja
Karena tamu dianggap hendak menghancurkan kompleks makam keramat, santri mempersiapkan diri dengan berbagai senjata. Mulai bambu runcing, kayu yang dilengkapi paku, celurit, golok dan samurai.
Diantara lantunan Shalawat Badar, persiapan perang mereka terhenti oleh teriakan salah satu santri: “Allahu Akbar”. Di ufuk timur, terbentang awan berlafaz “Allah”.
Dari foto yang direkam dengan kamera telepon genggam, awan itu memang tidak sepenuhnya berbentuk Allah. Lebih menyerupai huruf “w”. Tapi penampakan itu cukup untuk membangkitkan semangat penjaga makam. “Kami yakin Allah bersama kami,” kata Habib Alwi Al-Hadad, 46 tahun, seorang ahli waris makam kepada Tempo, Kamis (15/4).
Mungkin semangat itu juga yang membuat para santri berani menghadapi penyerang yang jumlahnya 20 kali lebih banyak. Batu-batu yang dilayangkan ke tubuh-tubuh kerempeng itu tidak sedikit pun menyakiti mereka.
Seorang wartawan yang melihat kejadian menuturkan buldozer sempat meruntuhkan tembok di kanan-kiri gapura yang bertulis “Ghubbah Al-Haddad”. Namun saat hendak menghancurkan gapura, petugas operator tanpa ba-bi-bu ngacir meninggalkan mesin penghancur itu. Si wartawan sempat mendengar gumaman operator yang mengaku ketar-ketir melihat sosok manusia besar di depan gapura.
“Kesaktian” makam keramat itu bukan isapan jempol. Mbah Priok, begitu penghuni makam dikenal warga, dipercaya sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW.
Habib Ali Al-Idrus 38 tahun pengurus makam menuturkan Habib Hasan lahir di Ulu Palembang, Sumatera Selatan pada tahun 1727. Menjelang dewasa, ia belajar agama Islam di Yaman Selatan. Setelah beberapa tahun, Habib Hasan kembali ke Palembang.
Pada tahun 1756, Habib Hasan Al-Haddad pergi ke Jawa bersama Habib Ali Al-Haddad dan 3 orang lainnya. Tujuan mereka untuk menyebarkan agama Islam dan mengunjungi makam pelopor Islam, seperti Habib Husein Alaydrus di Mesjid Luar Batang, Penjaringan Jakarta Utara, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya.
Di tengah laut, tentara Belanda berupaya menyetop dan menembaki perahu yang mereka tumpangi. Namun tidak ada satu peluru pun yang kena. Setelah dua bulan mengembara, rombongan itu dihantam badai di Pantai Utara Batavia. Badai berlangsung beberapa hari itu dan menghancurkan kapal yang tumpangi. Habib Hasan dan Habib Ali berhasil menyelamatkan diri dengan berpegangan pada perahu yang telah terbalik. Sementara tiga orang anggota rombongan lainnya tewas.
Kedua habib, sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad, itu terapung-apung selama 10 hari. Karena lemas Habib Hasan pun meninggal dunia di usia 29 tahun. Sementara Habib Ali bertahan dan menyelamatkan jenazah saudaranya. Mereka terdorong oleh ombak ke pantai sambil diiringi ikan lumba-lumba.
Penduduk pesisir melihat korban kapal karam ini dan memakamkan Habib Hasan. Tempat pemakaman di lokasi yang sekarang adalah Pondok Dayung, Pos 1, Pelabuhan Tanjung Priok. Nama Pondok Dayung diambil dari Bahasa Sunda, dayung pendek. “Nisan kepala dari dayung pendek sisa kapal,” kata Habib Ali kepada Tempo.
Sementara untuk nisan kaki digunakan pohon tanjung. Penduduk juga menaruh periuk nasi dari pecahan kapal di makam Habib Hasan. “Sehingga penduduk menyebutnya Tanjung Priuk hingga sekarang,” lanjutnya.
Dua puluh tiga tahun setelah pemakaman Habib Hasan, pemerintah Belanda membangun Pelabuhan Tanjung Priok. Mereka berupaya membongkar makam Habib Hasan. “Namun pekerjaan terhenti karena banyak kuli yang mati,” kata Habib Abdulloh 36 tahun, abang Habib Ali.
Kemudian pemerintah meminta bantuan seorang Kiai yang dapat berkomunikasi dengan Habib Hasan. Dari situ didapatkan bahwa Habib Hasan minta makamnya dipindahkan jika ingin membangun pelabuhan. “Pemindahan harus seizin adik Habib Hasan, yaitu Habib Zen yang tinggal di Ulu Palembang,” kata Habib Abdulloh menirukan permintaan leluhurnya itu. Habib Ali dan Habib Abdulloh adalah keturunan ke 6 Habib Zen.
Habib Zen pun mengizinkan Belanda merelokasi makam abangnya ke Jalan Dobo, Koja. “Saat diangkat jenazah masih seperti baru meninggal,” kata Habib Ali.
Pemerintah Belanda menyediakan lahan seluas 7 hektare dan ghubah (bangunan kompleks makam) seluas 16×16 meter. Bangunan dengan atap berbentuk joglo dan berdinding putih ini masih berdiri tegak hingga kini. Di dalamnya, selain makam Habib Hasan, juga terdapat 8 makam anggota keluarga lainnya.
Menurut Habib Abdulloh setiap minggunya, setiap malam Jumat lima ratusan orang menjambangi makam ini. “Mereka menghadiri majelis tadzkir,” katanya.
Berbagai kalangan, mulai dari kalangan bawah, artis bahkan petinggi negara seperti Abdurrahman Wahid pernah berkunjung kesana. “Salah satunya adalah SBY 2 bulan sebelum pelantikan (2004),” kata Habib Ali.
Pengunjung kebanyakan tidak diizinkan masuk oleh abang-adik penjaga makam itu. “Harus keturunan Sayid atau Habib (pemuka agama atau keturunan Nabi),” kata Habib Abdulloh.
Namun ketenangan Mbah Priok terus terusik. Pada 22 Desember 2004, PT Pelindo II berupaya menggusurnya untuk perluasan pelabuhan. Upaya gagal itu dikaitkan ahli waris dengan bencana yang menimpa Indonesia. Tiga hari kemudian, tsunami menghantam Aceh.
Menurut kuasa hukum ahli waris, Yan Juanda, Makam Mbah Priok merupakan “pasak bumi” Jakarta Utara. “Saya mohon, jangan ada lagi upaya untuk menghancurkannya,” katanya di depan Wakil Gubernur Jakarta Prijanto dan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino, Kamis kemarin.
Yan mengatakan, pemerintah dan Pelindo sebaiknya belajar dari sejarah. “Pemerintah Belanda saja minta izin keluarga untuk memindahkan makam,” katanya.
Kalau pun pelabuhan perlu berbenah, keberadaan makam keramat tidak perlu digusur. “Di Singapura, arah jalan tol digeser untuk menghormati makam habib,” ujar Yan.
Usai dibisiki tentang kekeramatan makam Mbah Priok oleh seorang ulama di Cirebon pada 2005, Yan menyampaikannya ke Fauzi Bowo, yang saat itu Wakil Gubernur. “Dia diminta untuk menjaga makam,” kata Yan. Sekarang dia dan para ahli waris menagih janji itu.
Sumber Tempo Interaktif